Genre : Drama, Fantasi
Episode : 24 (dalam konfirmasi)
Network : MBC
Tanggal tayang : 8 April - 25 Juni 2013
CAST & CREW
Sutradara : Shin Woo Chul
Skenario : Kang Eun Kyung
Pemain:
Choi Jin Hyuk sebagaiGu Wol Ryung (ayah Kang Chi)
Lee Sung Jae sebagai Jo Gwan Woong
Lee Seung Gi sebagai Choi Kang Chi
Bae Suzy sebagai Wol Yeo Dam
Yoo Yun Suk sebagai Park Tae Seo
Lee Yoo Bi sebagai Park Chung Jo (cinta pertama Kang Chi)
Lee Yeon Hee sebagai Yoon Seo Hwa (ibu Kang Chi)
Jung Hye Young sebagai Chun Soo Ryun (kepala gisaeng)
Uhm Hyo Sup sebagai Park Moo Sol (Ayah angkat Kang Chi)
Jo Sung Ha sebagai Dam Pyeong Joon
Kim Hee Won sebagai Sojung Monk
Kim Ki Bang sebagai Eok Man
Yoo Dong Geun sebagai Lee Soon Shin
Sung Joon sebagai GonYi
SINOPSIS BAGIAN 2
Seo Hwa siap membunuh dirinya dengan tusuk konde (why it’s sound so funny??). Tiba-tiba terdengar suara Dam memanggil namanya. Melihat Dam, Seo Hwa buru-buru menyembunyikan tusuk kondenya.
Dam masuk lalu mengunci pintu. Tanpa berkata apa-apa, ia cepat–cepat membuka pakaiannya.
“Apa yang kaulakukan?” tanya Seo Hwa bingung.
“Kita tidak punya waktu. Tuan Muda menunggu di luar di pintu belakang. Cepat tanggalkan pakaian Nona,” ujar Dam cepat. Melihat Seo Hwa masih bengong, Dam menjelaskan kalau Seo Hwa bertukar pakaian dengannya lalu melarikan diri (kenapa ngga lari bareng-bareng aja yaaa).
“Apa yang kaukatakan? Melarikan diri? Bagaimana denganmu? Apa yang akan kau lakukan jika aku melarikan diri?”
“Aku akan baik-baik saja setelah dipukul beberapa kali. Tapi Nona berbeda. Nona tidak boleh dinodai oleh orang kejam yang telah membunuh ayah Nona.”
“Dam-ah….” Seo Hwa terharu mendengar perkataan Dam.
Dam berkata Seo Hwa harus keluar hidup-hidup. Seo Hwa harus hidup agar bisa membersihkan nama ayahnya. Agar bisa membalas dendam pada Jo Gwan Woong. Seo Hwa menangis lalu memeluk pelayannya.
“Juga, Nona harus tetap hidup…agar bisa menerima saya lagi. Jadi, Nona tidak boleh mati. Jika Nona mati, Nona tidak bisa mencapai apapun.”
“Dam-ah….”
“Nona…”
Keduanya menangis sambil berpelukan.
Menjelang malam, Gisaeng Chun memasuki kamar Seo Hwa. Ia berkata orang yang akan tidur dengan Seo Hwa sebentar lagi tiba. Ia menyuruh Seo Hwa mempersiapkan diri dan bersikap baik.
Gadis di balik tirai hanya menunduk dan tak mengatakan apapun. Gisaeng Chun menghela nafas panjang lalu berbalik pergi. Tapi ia merasa ada yang tak beres.
Ia berjalan ke belakang tirai dan menyuruh gadis itu mengangkat kepalanya. Dam gemetar ketakutan karena takut ketahuan. Ia tidak mau mengangkat kepalanya. Kepala pelayan mengangkat wajahnya dan terkejut karena melihat Dam, bukannya Seo Hwa. Dam menatap Gisaeng Chun dengan takut.
Sementara itu Seo Hwa dan Yoon berlari menembus hutan yang gelap.
Gisaeng Chun menampar Dam. Ia bertanya di mana Seo Hwa. Dam berkata ia tidak tahu, ia hanya bertukar pakaian dengan Seo Hwa. Gisaeng Chun mengancam akan menghukumnya. Tapi Dam benar-benar tidak tahu. Ia bersumpah ia hanya bertukar pakaian dengan Seo Hwa dan tidak tahu apa-apa.
Masalah semakin gawat karena Jo Gwang Woon sudah tiba di Chunhwagwan. Gisaeng Chun memerintahkan kepala pelayan untuk menyuruh Jang So menangkap Seo Hwa secepatnya tanpa sepengetahuan Jo Gwan Woong.
“Dan kau, Dam. Kau harus melayani Pejabat Jo malam ini.”
“Aku mengerti. Apaaa?! Kepala Gisaeng, aku tidak bisa melakukannya,” kata Dam ketakutan. Ia memohon pada Gisaeng Chun agar menyelamatkannya dan terus menerus memohon ampun.
“Kau harus melayaninya baik-baik dengan mulut tertutup (tidak bersuara). Jika ia tahu kau orangnya (dan bukan Seo Hwa) sebelum ritual pertama, aku sendiri yang akan memenggal kepalamu. Apa kau mengerti??!” kata Gisaeng Chun tegas. Poor Dam T_T
Orang-orang Gisaeng Chun mulai mencari Seo Hwa dan Yoon di hutan. Wol Ryung duduk di guanya sambil memandangi tali yang pernah dipakai untuk mengikat Seo Hwa. Tiba-tiba burung beterbangan dari pohon dan bersuara riuh. Wol Ryung bertanya-tanya apa yang sedang terjadi. Ia melihat pohon-pohon bergerak gelisah.
Gisaeng Chun menemui Jo Gwan Woong yang kesal karena ia sudah menunggu lama. Gisaeng Chun meminta Gwan Woong mengerti, Seo Hwa masih sangat muda. Ia mengajukan permintaan agar lilin dipadamkan saat ritual pertama berlangsung.
“Kami tidak bisa memberitahunya kalau ia akan melayani Tuan. Sekarang ia adalah gisaeng negara tapi Tuan telah membunuh ayahnya. Saya khawatir ia akan mencoba membunuh dirinya sendiri setelah melihat Tuan.”
“Kurasa jika ia menggigit lidahnya (sampai mati) atau semacamnya sebelum kesenangan dimulai, maka itu sama sekali tidak akan menyenangkan. Baiklah, aku mengerti maksudmu,” Jo Gwan Woon meniup lilin di mejanya.
Kamar gelap gulita. Gisaeng Chun memerintahkan agar gadis itu dibawa masuk. Dam dibawa nasuk. Ia gemetar ketakutan. Saat ia melihat Gisaeng Chun hendak keluar kamar, ia menatapnya dengan pandangan memohon.
Sebelumnya, rupanya Gisaeng Chun sudah mewanti-wanti agar Dam tidak bersuara sedikitpun sebelum ritual pertama dimulai. Bukan hanya demi nyawa Dam tapi juga demi Seo Hwa yang melarikan diri. Mengingat perkataan Gisaeng Chun, Dam hanya bisa pasrah karena ini demi keselamatan nyawanya dan Seo Hwa.
Gisaeng Chun keluar kamar lalu mengunci pintu. Dam tersentak. Rasa takut menguasainya. Ia berusaha membuka pintu. Tapi Jo Gwan Woon menariknya.
Dam berusaha berontak tapi Jo Gwan Woong malah semakin senang. Pria itu seperti kesetanan. Dam menangis dalam hati menjerit memanggil Seo Hwa.
Seo Hwa tersandung dan terjatuh. Ia serasa mendengar suara Dam memanggilnya.
“Apa kakak tidak apa-apa?” tanya Yoon.
“Dam-ah….” gumam Seo Hwa.
Yoon mengingatkan waktu mereka tidak banyak. Mereka harus terus berlari. Seo Hwa teringat permintaan Dam agar ia terus hidup agar bisa membersihkan nama ayahnya dan membalas dendam. Demi keluarganya, juga demi Dam. Hal itu membuat semangat Seo Hwa kembali bangkit. Mereka terus berlari.
Para pengejar semakin dekat. Mereka menemukan jejak Seo Hwa yang tadi terjatuh. Mereka semakin gigih mengejar.
Kaki Seo Hwa yang terkilir membuatnya tak bisa berlari kencang. Dan ia sudah kelelahan. Berkali-kali ia jatuh.
Kepala Pelayan dan Gisaeng Chun merasa miris mendengar teriakan-teriakan Dam dari dalam kamar. Kepala pelayan khawatir Dam akan mati. Gisaeng Chun menghela nafas panjang.
“Kau harus bertahan. Hanya jika kau bertahan maka Seo Hwa akan hidup dan kita semua juga akan hidup,” gumam Gisaeng Chun, seakan berbicara pada Dam.
Seo Hwa akhirnya tak sanggup lagi berlari. Ia menyuruh adiknya melarikan diri sendirian. Yoon tidak mau. Ia lebih baik mati bersama kakaknya daripada hidup sendirian.
“Apa aku bilang aku akan mati? Aku akan bersembunyi, jadi pergilah. Jika kita terus seperti ini, kita berdua akan mati. Jadi kita harus berpisah dan menemukan cara untuk tetap hidup.”
“Tidak, aku tidak bisa meninggalkan kakak!”
“Kumohon, lakukan seperti apa kataku. Jika kita berdua ditangkap di sini, tidak ada seorang pun yang bisa membersihkan nama ayah. Juga demi Dam. Apa kau tak merasa bersalah padanya? Jadi pergilah sekarang. Aku hanya bisa hidup jika kau pergi. Pergilah. Sekarang!” Seo Hwa mendorong adiknya karena Yoon tak juga pergi.
“Kakak harus tetap hidup. Aku akan menemukan kakak tak peduli di manapun kakak berada. Tak peduli bagaimanapun juga, tetaplah hidup.”
Seo Hwa mengangguk. Yoon dengan berat hati pergi meninggalkan kakaknya.
Seo Hwa bangkit berdiri. Ia melihat cahaya obor pengejarnya semakin mendekat. Ia tahu ia pasti tertangkap. Ia mengeluarkan tusuk konde dari balik pakaiannya.
“Dam, maafkan aku. Kurasa ini adalah akhirku. Tapi setidaknya, Jung Yoon akan hidup. Tolong maafkan aku.”
Seo Hwa mengangkat tusuk kondenya. Tiba-tiba sebutir cahaya biru melintas di depan matanya. Seo Hwa terpana melihat butiran cahaya itu beterbangan di sekitarnya. Kesadarannya menghilang, tusuk konde terjatuh dari genggamannya.
Seo Hwa jatuh pingsan, tapi seseorang menopangnya sebelum ia jatuh ke tanah. Siapa lagi kalau bukan Wol Ryung. Wol Ryung menatap Seo Hwa yang pingsan dalam pelukannya. Pelan-pelan Seo Hwa membuka matanya menatap Wol Ryung.
“Tolong…tolong aku…” Seo Hwa kembali pingsan.
Para pengejar tiba-tiba melihat butiran cahaya biru yang sama beterbangan di sekita mereka. Mereka berhenti.
“Apa ini? Kunang-kunang?” tanya Jang So sambil tetap waspada.
“Bukan,” kata pemimpin mereka.
“Jika bukan kunang-kunang, lalu apa? Jangan-jangan…cahaya gaib (cahaya yang menurut legenda dipercaya sering terlihat jika ada makhluk gaib)?!” Jang So mulai takut.
“Cahaya gaib?!” yang lain ikut ketakutan.
Mereka lalu melihat ada sesuatu di tengah kegelapan.
“Apa kau manusia?” tanya pemimpin kelompok pada sosok itu. “Jika iya, jawab kami!”
Sosok itu hanya diam tak menjawab. Tentu saja semua semakin takut karena itu artinya sosok itu bukan manusia. Mereka bertanya-tanya apakah sosok itu harimau atau serigala. Tapi pemimpin kelompok berpendapat sosok itu bukan binatang.
Pemimpin kelompok yang berani, mencabut pedangnya lalu berjalan mendekati sosok itu. Tiba-tiba ia seperti menabrak dinding yang tak terlihat dan jatuh terjengkang. Pedangnya terlempar ke atas lalu jatuh menancap di tanah, tepat di antara kedua kakinya.
Wol Ryung dikelilingi oelh sinar suram hingga sosoknya mulai terlihat. Tapi para pengejar masih ragu apakah Wol Ryung manusia atau bukan.
“Keluar dari hutan ini” seru Wol Ryung dengan suara menggeram.
Pemimpin kelompok mencoba mengusir Wol Ryung. Wol Ryung menggeram marah. Matanya bersinar.
Ia menggerakkan tangannya. Angin bertiup kencang di sekitar mereka, menerbangkan daun-daunan kering. Tiba-tiba dedaunan kering itu membentuk wajah gumiho lengkap dengan mata yang bersinar. Para pengejar ketakutan.
“Tinggalkan gunung ini!!” Geram Wol Ryung. Ia mengerahkan kekuatannya. Daun-daunan kering membentuk aliran-aliran yang menerjang para pengejar. Para pengejar menutup telinga mereka karena tidak tahan mendengar suara berdesing yang keras. Mereka akhirnya melarikan diri.
Jo Gwan Woong keluar dari kamarnya sambil berteriak memanggil Gisaeng Chun. Ia tampak sangat sangat marah. O-ow…
Begitu melihat Gisaeng Chun, ia langsung menamparnya dengan keras. Gisaeng Chun tidak nampak takut.
“Ada apa ini?” tanyanya.
“Beraninya kau menipuku! Beraninya kau membodohiku dengan pelayan!”
Gisaeng Chun melihat Dam sedang menangis di kamar. Mereka sudah ketahuan. Ia hanya bisa terdiam pasrah. Jo Gwang Woon mencengkeram Gisaeng Chun.
“Di mana Seo Hwa! Berikan Seo Hwa padaku sekarang juga!” Ini orang udah gila kali ya ~,~
“Tuan hanya bisa meniduri gisaeng negara seteah ia terdaftar resmi. Jadi, jika Tuan ingin menidurinya, kembalilah setelah ia terdaftar resmi. Dengan senang hati saya akan menyerahkannya pada Tuan.”
“Kau pasti ingin mati! Kau pasti benar-benar ingin mati!” kata Jo Gwan Woong marah.
“Jika saya mati, apa Tuan akan merasa lebih baik?” tantang Gisaeng Chun.
“Apa? Ambil pedangku! Ambil pedangku di kamar sekarang juga!” seru Jo Gila Woong Edan.
Sebenarnya Gisaeng Chun ingin menyembunyikan berita kaburnya Seo Hwa lebih lama lagi, berharap Seo Hwa tertangkap anak buahnya dan semuanya akan baik-baik saja. Tapi pelayan kepala ketakutan. Ia memberitahu Jo Gwan Woong kalau Seo Hwa telah melarikan diri.
“Diamlah, kepala pelayan!” Gisaeng Chun mengingatkan. Tapi kepala pelayan terus menyerocos kalau Seo Hwa melarikan diri setelah mereka mendandaninya. Seo Hwa-lah yang harus dibunuh, bukan Gisaeng Chun.
Jo Gwang Woon terkejut. Gisaeng Chun meminta Jo Gwang Woon melupakan apa yang baru saja ia dengar. Jika penguasa tahu Seo Hwa melarikan diri maka Seo Hwa akan mati.
“Anak itu masih muda. Mohon berikan kesempatan satu kali lagi padanya, Tuan. Saya berjanji akan membawanya kembali.”
Jo Gwang Woon melepaskan cengkeramannya pada Gisaeng Chun. Alih-alih mengikuti permintaan Gisaeng Chun, ia malah menyuruh anak buahnya melaporkan pada penguasa kalau ada budak negara yang melarikan diri. Bahkan ia memerintahkan untuk mempersiapkan para pemburu budak agar menangkap budak yang kabur (jadi inget Chuno).
Gisaeng Chun terpekur mendengar perintah itu. Ia melihat Dam dengan sedih. Tampaknya ia bukan orang yang dingin seperti yang diperlihatkannya.
Yoon terbangun di hutan. Ia pergi membasuh wajahnya di sungai kecil. Ia memikirkan bagaimana nasib kakaknya sekarang ini. Terdengar langkah kaki mendekatinya.
Yoon menoleh. Tiga orang aneh dan lusuh menatapnya sambil tersenyum mengerikan. Ternyata mereka pemburu budak yang dikerahkan Jo Gwan Woong. Tanpa membutuhkan waktu lama, Yoon tertangkap.
Dam mendengar kabar ini dari seorang gisaeng. Ia segera berlari ke kota karena kabarnya Yoon akan dieksekusi hari ini. Ia menerobos kerumunan orang yang berkumpul di tempat eksekusi.
Yoon berdiri di depan tali gantungan dengan wajah babak belur. Dam menangis memanggil Tuan Mudanya.
“Dam-ah…” panggil Yoon.
Tapi belum sempat ia berbicara lagi, tali gantungan dilingkarkan ke lehernya. Jo Gwan Woong mengendarai kudanya ke tempat eksekusi.
“Kutanya kau untuk yang terakhir kalinya. Ke mana Seo Hwa melarikan diri?”
“Sungguh sebuah tragedi aku harus mati sebelum mematahkan lehermu! Hanya itulah penyesalanku!” seru Yoon tanpa takut.
Jo Gwang Woon tersenyum sinis. “Gantung dia!”
Seluruh penduduk memalingkan wajah mereka melihat eksekusi mengerikan itu. Dam tertegun melihat Tuan mudanya. Dengan sisa kekuatannya, Yoon menatap Dam.
“Dam-ah, terima kasih. Aku tidak akan melupakan kebaikanmu bahkan setelah kehidupan berikutnya,” katanya dalam hati.
“Tuan muda…” panggil Dam dalam hati.
Mereka mengenang masa lalu mereka yang menyenangkan saat bersama.
Dam kembali ke Chunhwagwan dengan hati hancur. Ia memandang tiang penopang kamar.
Jang So melaporkan apa yang ia lihat pada Gisaeng Chun. Gisaeng Chun awalnya tak percaya. Tapi Jang So yakin ia telah melihat gumiho. Bahkan ia melebih-lebihkan kalau gumiho itu berekor sembilan (dalam legendanya, gumiho memang rubah berekor sembilan, tapi biasanya berwujud wanita).
Di tempat lain, Jo Gwan Woong juga tidak percaya saat mendengar laporan itu. Tapi saksi matanya ada 7-8 orang hingga tak mungkin itu hanya ilusi semata. Ia bertanya di mana Seo Hwa.
Jang So yakin Seo Hwa sudah menjadi korban gumiho. Gumiho dikenal menyukai hati(liver) manusia. Gisang Chun nampak sedih mendengar kabar itu. Ditambah lagi kabar buruk yang dibawa seorang gisaeng.
Mereka menemukan Dam telah mati menggantung diri.
Seo Hwa terbangun. Ia mengernyit karena kakinya sakit. Tapi kakinya telah dibalut kain. Ia lalu melihat sekelilingnya. Ternyata ia berada di dalam sebuah gua.
Seo Hwa berjalan keluar gua. Di luar gua beterbangan cahaya-cahaya biru yang sempat dilihatnya sebelum ia pingsan. Aneh namun sangat indah.
“Apa kau sudah bangun?” terdengar suara dari belakangnya.
Seo Hwa berbalik. Wol Ryung tersenyum ramah padanya.
“Siapa kau?” tanya Seo Hwa.
“Aku khawatir karena kau tidak bangun juga. Bagaimana keadaanmu?”
“Siapa kau?!” kata Seo Hwa waspada.
“Aku Gu Wol Ryung. Jangan khawatir, aku telah mengusir mereka yang mengejarmu. Di tempat ini tidak ada yang bisa mengejarmu. Tidak ada yang akan mengikatmu di pohon atau mengancam hidupmu.”
Seo Hwa melihat Wol Ryung dengan penuh rasa ingin tahu. Is he a good guy or a bad one? Jelas baik dong, liat aja senyumnya ;)
Jo Gwan Woon memanggil Dam Pyung Joon (sepertinya ia kepala polisi. Dan ia ayah Yeo Wool). Ia tahu ia dipanggil karena ada kabar mengenai keberadaan gumiho di gunung.
“Tak peduli benar ada gumiho atau tidak. Makhluk seperti itu tidak seharusnya berkeliaran bebas. Bagaimana bisa rakyat hidup tenang? Tidakkah kau setuju?”
“Tentu saja, Tuan. Saya, Dam Pyung Joon, akan mengobrak-abrik hutan jika perlu untuk menangkapnya.”
Dam Pyung Joon membawa pasukan untuk menyisir hutan mencari gumiho. Mereka dipandu oleh pemimpin kelompok Gisaeng Chun yang masih ingat tempat semalam.
Biksu So Jung melihat barisan itu dari balik pohon. Ia merasa Wol Ryung dalam bahaya dan pergi mencarinya.
Tapi di sekitar gua Wol Ryung, ia malah melihat seorang gadis. So Jung bengong.
“Ada apa, So Jung?” sapa Wol Ryung. “ Kau bilang kau baru kembali sebulan lagi.”
“Begini, ada sekelompok tentara di gunung. Tapi, siapa wanita itu?”
Wol Ryung tersenyum hangat sambil meliat Seo Hwa. “Yoon Seo Hwa.”
“Yoon Seo Hwa?”
So Jung menoleh melihat Seo Hwa. Seo Hwa mengangguk hormat.
“Dia yang diikat di pohon aib,” Wol Ryung mengingatkan. “Apa kau tidak ingat?”
“Jadi kau melakukannya juga?”
“Dia dulu yang datang ke hutanku. Ia meminta pertolongan, jadi…”
“Keluarkan dia dari gunung ini sekarang juga!” kata So Jung. Mereka berbicara agak berbisik hingga Seo Hwa tak bisa mendengar.
Wol Ryung berkata Seo Hwa bisa tertangkap dan mati jika keluar dari gunung.
“Mati atau tidak, itu adalah takdirnya! Itu bukan urusanmu! Berapa kali aku harus memberitahumu?” kata Do Jung frustrasi.
“Tidak. Ini menjadi urusanku sekarang.”
“Sejak kapan takdir manusia menjadi urusanmu?!”
Wol Ryung kembali melihat Seo Hwa. Sambil tersenyum ia berkata ia telah memberikan hatinya pada Seo Hwa.
“Maksudku, bagaimana bisa kau….. eh, apa?” tanya So Jung kaget.
“Jadi aku sedang berpikir, bagaimana aku bisa menemukan buku keluarga Gu?”
“Untuk apa kau menyebut-nyebut buku keluarga Gu?” So Jung tersadar, “Jangan-jangan,…..”
“Ya, aku ingin menjadi manusia,” kata Wol Ryung mantap.
Perintah yang dterima Dam Pyung Joon adalah menangkap gumiho dan menemukan mayat Seo Hwa. Mereka telah tiba di tempat Wol Ryung menampakkan diri semalam.
Seeokor elang terbang dari hutan, melintasi tempat Wol Ryung tinggal.
“Ini adalah gunung misterius. Tidak terjamah kaki manusia. Tempat di mana makhluk gaib yang melindungi gunung kadang-kadang menampakkan diri. Di tempat yang disebut Taman Cahaya Bulan ini, kisah sedih mereka baru saja dimulai.”
“Apa kau bilang? Kau ingin menjadi manusia?” tanya So Jung.
“Benar.”
“Kau? Kau?”
“Benar. Aku ingin menjadi manusia.”
Seo Hwa melihat ke arah mereka. Wol Ryung tersenyum padanya.
Ini adalah tempat yang misterius. Tempat berbahaya yang tak boleh terjamah manusia. Makhluk gaib melindungi tempat ini dan konon kabarnya hanya muncul sesekali di tempat ini.
Taman Cahaya Bulan. Di tempat inilah terjadinya awal dari legenda yang menyedihkan itu.
Wol Ryung heran mendengar nama yang disebut Biksu So Jung dengan nada yang berbeda. Biksu So Jung menjelaskan siapa Dam Pyeong Joon. Satu dari sedikit manusia yang mempunyai kemampuan khusus, berbeda dengan kebanyakan orang yang bisa diusir dengan hanya menggunakan pedang saja, “Menyimpan seorang wanita di dalam hatimu akan sangat membahayakan jiwamu!”
Mendengar nasehat temannya, Wol Ryung hanya bisa menatap wanita yang sedang mereka perbincangkan, nampak dari wajahnya ia sedang berperang batin.
Dan inilah Dam Pyeong Joo, sedang mencari jejak Seol Hwa. Pria yang tak banyak bicara. Salah satu anak buahnya menemukan obor yang dibawa Seol Hwa, menguatkan keyakinan mereka kalau arah pencarian mereka sudah benar. Dam Pyeong Joo juga menemukan tusuk konde milik Seol Hwa.
Terdengar pekik suara elang yang terbang menjauh, dan Dam Pyeong Joo mengamati elang yang terbang itu.
Elang itu memekik lagi dan terbang jauh, melintasi hutan, sungai dan hingga sampai di taman cahaya bulan. Si Elang memekik lagi, melewati Wol Ryung yang wajahnya menampakkan kekhawatiran saat mendengar pekikan si Elang.
Tapi ekspresi khawatir itu sirna saat mendengar panggilan lembut Seol Hwa. Wajahnya berubah ceria saat ia menghampiri gadis itu.
Seol Hwa tak ingin membahayakan pria yang menyelamatkannya itu dan ia merasa kalau ia sebaiknya pergi meninggalkan Wol Ryung. Ia adalah putri pengkhianat dan sekarang menjadi budak negara yang melarikan diri.
“Terus?” tanya Wol Ryung polos.
“Selama aku masih di sini, mereka akan terus mencariku di gunung ini dan kau akan mendapat kesulitan karena telah menyembunyikanku.”
Wol Ryung mengangguk seakan ia memahami kekhawatiran Seo Hwa, “Terus?”
“Aku tak ingin membahayakan penyelamatku,” ungkap Seo Hwa sopan dan lembut, “Karena itulah aku ingin mengucapkan selamat tinggal.”
Wol Ryung tertawa, membuat Seo Hwa heran. Wol Ryung menjelaskan kalau ia tak akan pernah mendapatkan bahaya karena masalah itu. Begitu pula dengan Seo Hwa yang ada berada di sisinya.
Seo Hwa menyela ingin membantah, tapi Wol Ryung tak mendengarkan. Ia malah mengacungkan karung yang ia bawa dari tadi, “Kupikir kau pasti lapar maka aku membawakanmu makanan. Apa kau mau lihat?”
Seo Hwa terkaget-kaget mendengar menu makanan yang di bawa Wol Ryung. Wol Ryung mengangkat kelinci hidup ke depan wajah Seo Hwa, “Kau suka mana? Ini?” dan tangan satunya mengacungkan kura-kura, “Atau ini?”
Seo Hwa speechless melihat kedua binatang yang bisa menjadi binatang piaraan itu. Ia mencari-cari makanan lain yang dibawa Wol Ryung dan ia menemukannya. Ia mengambil salah satu apel di meja dan menyatakan kalau ia akan memakan apel saja.
Wol Ryung tersenyum senang dan menyuruh Seo Hwa menunggu sebentar.
Ia kembali lagi dengan membawa apel yang baru saja ia petik dari pohon. Dengan bangga ia menaruh apel yang ia petik di atas meja. Sekitar 5 kiloan, “Untuk mengisi perutmu, kau harus makan sebanyak ini.”
Bwahaha.. Seo Hwa tersenyum mendengar ucapan Wol Ryung. Tapi ia segera menangkap tangan Wol Ryung, menahan Wol Ryung yang ingin mengambilkan apel lagi untuk Seo Hwa, “Sudah cukup. Terima kasih atas makanan ini.”
Seakan tersengat akan sentuhan itu, Wol Ryung terpana merasakan sentuhan Seo Hwa dan kemudian tersenyum lebar.
Wol Ryung ini sepertinya tipe pria yang tak mengenal kata sedikit. Saat Seo Hwa menciumi harumnya bunga yang ada di dekat gua mereka, Wol Ryung membawakan sepelukan besar bunga yang sama.
Saat Seo Hwa terpesona pada kupu-kupu biru yang saling berkejaran, Wol Ryung membawakan karung, yang saat dibuka ada berpuluh-puluh kupu-kupu biru yang terbang mengitari Seo Hwa. Seo Hwa tertawa gembira walau kesedihan (mungkin karena teringat adik dan Dam) masih tetap terpancar di wajahnya.
Maka Wol Ryung menarik tangan Seo Hwa dan membawanya ke tepi tebing. Dan Seo Hwa kembali terpesona pada keindahan tempat yang didiami Wol Ryung ini. Matanya tak puas-puas memandang danau yang dikelilingi tebing, “Cantiknya.. Benar-benar cantik..”
Sedangkan Wol Ryung? Ia terpesona melihat wajah Seo Hwa, “Kau cantik saat kau tersenyum. Benar-benar cantik..”
Malam harinya, mereka berbincang-bincang dan Seo Hwa bertanya sejak kapan Wol Ryung tinggal di gunung ini. Wol Ryung tersenyum dan berkata kalau ia tak lagi menghitung karena sudah sangat lama. Saat ditanya tentang keluarganya, Wol Ryung mengatakan kalau ia selalu tinggal sendiri.
Seo Hwa pun menceritakan dirinya yang memiliki seorang adik laki-laki dan seorang pelayan yang sudah seperti saudara sendiri, Dam. Saat ditanya keberadaan mereka, Seo Hwa pun menjawab kalau adiknya terpisah di gunung saat mereka melarikan diri sedangkan Dam berada di Choonhwagwan agar mereka bisa melarikan diri, “Walaupun aku sangat khawatir pada keselamatan mereka, aku tak dapat berbuat apapun selain tetap tinggal di sini bersamamu.”
Wol Ryung menatap wajah murung Seo Hwa, “Apakah kau akan merasa lebih tenang jika kau dapat mendengar kabar dari mereka? Apakah saat itu kau juga bisa sering tersenyum?” Seo Hwa tak mengerti kenapa Wol Ryung begitu baik padanya dan Wol Ryung pun menjawab, “Aku ingin melakukan segalanya untukmu. Itu yang ingin hatiku lakukan sekarang.”
Betapa terkejutnya Wol Ryung saat ia melihat tubuh seorang pria yang dikerangkeng bersama Seo Hwa sekarang telah menjadi mayat di tiang gantungan.
Gisaeng Chun meminta pada Jo Gwan Woong agar menurunkan mayat Yoon sekarang karena sudah 4 hari berlalu. Tapi Jo Gwan Woong malah berencana untuk menggantung mayat itu 4 hari lagi untuk memberi peringatan pada masyarakat agar patuh padanya dan contoh nyata adalah hal yang paling efektif. Saat diingatkan kalau Yoon adalah putra temannya sendiri dan juga adalah bangsawan, Jo Gwan Woong hanya menjawab sinis, “Sekarang ia tak lebih dari putra pengkhianat dan budak yang melarikan diri.”
Gisaeng Chun heran dengan sikap Jo Gwan Woong yang tak berperasaan. Dan pejabat itu semakin sinis dan bertanya menyudutkan, “Dan kenapa kau sangat menaruh perhatian pada hal ini. Apakah kau dulu punya hubungan gelap dengan Wakil Menteri Yoon?” Dan Jo Gwan Woong menyuruh Gisaeng Chun untuk tutup mulut atau ia akan menyuruh Gisaeng Chun bertanggung jawab atas pelarian Seo Hwa.
Tiba-tiba terdengar suara pelayan Jo yang memberitahu kalau mayat Yoon sudah hilang.
Wol Ryung kembali dengan murung. Seo Hwa yang sudah tak sabar menunggu kedatangannya langsung bertanya tentang kondisi adik dan pelayannya. Untuk sesaat Wol Ryung ragu. Ia teringat pada beberapa saat yang lalu ia menguburkan mayat Yoon. Namun ia kemudian tersenyum dan berkata, “Keduanya… tampak baik-baik saja.”
Seo Hwa hampir tak percaya mendengar kabar membahagiakan ini. Matanya berkaca-kaca saat mendengar ucapan Wol Ryung berikutnya, “Jadi kuminta tenangkanlah hatimu sekarang. Jangan berpikir untuk pergi lagi dan tinggallah di sini bersamaku. Mulai sekarang aku akan melindungimu.”
Mendengar janji Wol Ryung, Seo Hwa tak kuasa menahan air matanya. Ia menghambur ke pelukan Wol Ryung dan berterima kasih kepadanya, “Sekarang aku merasa tenang. Aku merasa akhirnya aku dapat bernafas kembali.”
Sepertinya Wol Ryung baru pertama kali mendapat pelukan dari orang lain (atau lebih tepatnya makhluk lain). Dan ini juga kebohongan yang pertama kali ia ucapkan pada Seo Hwa. Tangannya diam di udara, tak berani menyentuh punggung Seo Hwa untuk membalas pelukannya.
Seo Hwa pun menyadari tindakannya yang tak patut. Ia segera melepaskan pelukannya dan minta maaf. Tapi Wol Ryung malah menyentuh pipinya, mengusap air matanya. Dan seketika itu muncul cahaya seperti kunang-kunang, yang kali ini berwarna hijau.
Wol Ryung seakan sadar akan tindakannya. Ia berbalik pergi meninggalkan Seo Hwa. Namun sedetik kemudian ia kembali lagi menghampiri..
.. dan menciumnya. Cahaya hijau itu terus menyertai mereka walau ciuman itu telah usai dan Wol Ryung tiba-tiba meminta, “Maukah kau menikah denganku?”
Seo Hwa tergeragap mendengar pertanyaan yang mendadak itu, “Tapi aku adalah putri penjahat negara.”
“Maukah kau menikah denganku?”
“Dan aku juga adalah budak negara yang sedang buron.”
“Maukah kau menikah denganku?”
Seo Hwa melihat kesungguhan di mata Wol Ryung, dan ia pun memeluk Wol Ryung dengan tersenyum bahagia.
Biksu So Jung kaget mendengar cerita Wol Ryung yang mengatakan kalau ia akan menikahi Seo Hwa dan ingin mengetahui cara untuk mendapatkan buku keluarga Gu.
Maka mereka ke perpustakaan biara dan Biksu So Jung mulai mencari-cari buku yang menjelaskan tentang buku keluarga Gu. Rupanya ia lupa dimana ia menyimpan buku itu. Wol Ryung kesal mendengarnya, “Harusnya kau menjaga buku itu baik-baik karena buku itu tentang aku!”
“Siapa juga yang berpikir kalau kau mau jadi manusia?” kilah Biksu So Jung. Ia masih belum habis pikir, kenapa Wol Ryung mau melakukan hal seperti ini.
Wol Ryung menjawab kalau temannya itu tak pernah hidup seribu tahun, sendiri dan kesepian, “Percayalah padaku. Menjadi fana itu lebih mengagumkan daripada hidup abadi. Dan karena itulah manusia menjadi lebih indah.”
“Tapi tetap saja kalau kau punya tubuh yang tak bisa aus dimakan usia sepertimu.. Jika aku memiliki wajah tampanmu, kurasa aku dapat hidup seribu tahun atau sepuluh ribu tahun sendirian,” bantah Biksu So Jung. Wol Ryung tertawa dan berkata kalau temannya itu belum pernah merasakan betapa membosankannya hidup seribu tahun itu.
Ada satu yang masih menjadi pertanyaan Biksu So Jung. Apakah Seo Hwa sudah tahu tentang jati diri Wol Ryung yang sebenarnya? Sambil mencari-cari buku itu, Wol Ryung menjawab belum dan ia berencana untuk menyimpan rahasia selamanya, “Karena aku akan menjadi manusia sebelum ia mengetahui siapa diriku sebenarnya.”
Hmm..
Biksu So Jung mendesah kesal melihat keras kepalanya Wol Ryung. Ia tak bisa menyetujui pernikahan ini. Baginya tak ada yang lebih rumit daripada mencintai seorang wanita, “Kau pikir kenapa aku meninggalkan kehidupan duniawi? Bahkan pria yang manusia saja tak bisa mengendalikan seorang wanita! Dan ini akan lebih parah lagi untuk makhluk sepertimu.”
Wol Ryung hanya tersenyum mendengar curhat temannya itu. Tapi perhatiannya beralih pada buku yang ia buka karena, “Ah, ketemu!”
Biksu So Jung segera meraih buku yang dipegang Wol Ryung dan mulai membacanya. Ternyata tak ada seorang pun yang pernah melihat Buku Keluarga Gu itu yang berarti tak pernah ada makhluk seperti Wol Ryung yang pernah menjadi manusia. Dengan kata lain menjadi manusia itu sangatlah sulit.
“Tentu saja sangat sulit,” kata si biksu. “Maka dari itu menyerah sajalah.”
Wol Ryung mendelik pada temannya dan menyuruhnya untuk terus membaca.
Menurut buku itu, untuk mendapatkan Buku Keluarga Gu, Wol Ryung harus berdoa selama 100 hari. Dan selama 100 hari itu, Wol Ryung harus menjalani 3 pantangan yaitu : Pertama, tak boleh membunuh makhluk apapun. Kedua, jika seorang manusia membutuhkan bantuan, Wol Ryung harus mau membantu dan tak boleh menolak. Ketiga, Wol Ryung tak boleh menunjukkan jati dirinya yang asli kepada manusia.
“Susah, kan?” tanya Biksu So Jung. Wol Ryung pun mengakui hal itu dan Biksu So Jung meminta Wol Ryung untuk melupakan keinginannya itu. Jika Wol Ryung bisa melakukan dalam 100 hari itu, buku itu akan muncul dan sumpah Hwan Woong akan muncul di hadapannya.
Tapi jika Wol Ryung gagal melakukan satu saja pantangan itu, Wol Ryung tak hanya kehilangan kesempatan untuk menjadi manusia, tapi Wol Ryung akan menjadi iblis selama 1000 tahun, “Kesempatan untuk menjadi manusia sangatlah tipis. Apakah kau masih ingin tetap mencoba?”
“Dan sejarah baru akan tertorehkan,” kata Wol Ryung ceria. “Makhluk kedua yang akan menjadi manusia setelah Woong Nyeo adalah Gu Wol Ryung!”
Sebagai teman, biksu So Jung meminta Wol Ryung untuk memikirkannya lagi karena pada akhirnya Wol Ryunglah yang akan sangat tersakiti. Wol Ryung berkata kalau ini adalah pertama kalinya dalam 100 tahun ia bertemu dengan seorang wanita yang membuat hatinya berdebar-debar, “Jika aku melepaskannya sekarang, mungkin aku harus menunggu 1000 tahun lagi.”
Dan menikahlah Wol Ryung dengan Seo Hwa.
Sementara itu, Jo Gwan Woong mendatangi temuan pasukan pencari. Sebuah nisan yang kira-kira dibuat dalam waktu yang bersamaan dengan hilangnya mayat Yoon. Jo Gwan Woong mencabut nisan kayu itu dan menyimpulkan kalau Seo Hwa masih hidup.
Nisan kayu itu dibawa Jo Gwan Woong pulang dan ia bertanya-tanya bagaimana seorang wanita bisa membawa mayat itu sendirian ke hutan. Dan sebuah jawaban melintas di pikirannya.
O oh..
Tiga bulan berlalu dan sepasang suami istri baru itu menjalan perkawinannya dengan bahagia. Seo Hwa selalu membawakan kotak makan untuk makan siang suaminya. Wol Ryung sendiri selalu lupa untuk membawa kotak makan itu.
Melihat Seo Hwa membawa keranjang, Wol Ryung bertanya apa yang akan Seo Hwa lakukan hari ini? Ternyata Seo Hwa berencana untuk mengambil beberapa tanaman dan bersikeras untuk melakukannya sendiri. Dan ia menenangkan suaminya kalau ia sudah benar-benar mengenal daerah ini, “Aku bahkan dapat menemukan jalan pulang dengan mata tertutup!”
Tapi Wol Ryung masih tetap khawatir. Ia mencoba mengambil keranjang itu, tapi Seo Hwa malah menyembunyikan keranjang itu di belakang dan mencium pipi Wol Ryung.
Tiga bulan pernikahan mereka, tapi Wol Ryung masih terkesima saat Seo Hwa mencium dirinya. Seo Hwa pun tahu hal itu, “Semoga kau menikmati makan siangmu, suamiku. Aku akan kembali sebelum saatnya makan siang.” Dan Seo Hwa kembali mencium pipi Wol Ryung yang masih mematung karena kecupan pertama tadi.
LOL. Dan Seo Hwa pun buru-buru pergi sebelum Wol Ryung pulih dari kesadaran.
Setelah pulih dari kagetnya, Wol Ryung tersenyum lebar dan meraba bekas kecupan di pipi itu.
“Kau benar-benar sudah termehek-mehek, ya,” seru Biksu So Jung dari kejauhan. Ia sempat melihat kejadian itu. Ia juga melihat wajah Wol Ryung yang tak tampak segar karena pantangan 100 hari itu.
Dengan ceria Wol Ryung berkata kalau ia sudah tak makan daging selama 3 bulan dan tinggal 11 hari lagi, “Kecuali saat aku kadang memimpikan kelinci panggang, yang lainnya tak begitu buruk.”
Biksu So Jung berkata kalau pantangan daging itu tak sebanding dengan memiliki istri cantik seperti Seo Hwa, “Ia bahkan membuatkan makan siang untukmu!” Biksu So Jung membuka kotak makan Wol Ryung dan memakannya sedikit. Namun sedetik kemudian makanan itu ia keluarkan lagi dari mulutnya.
Wol Ryung yang tadi mencoba mencegahnya, hanya tersenyum minta maaf, “Ahh.. kemampuan memasaknya masih harus diperbaiki lagi.”
“Kau makan makanan seperti ini selama 3 bulan?” tanya Biksu So Jung muak. Wol Ryung yang tetap tersenyum penuh cinta berkata kalau Biksu So Jung akan terbiasa dengan rasanya jika tetap memakannya. Biksu So Jung hanya bisa geleng-geleng kepala, “Wahh, kekuatan cinta itu benar-benar mengagumkan!”
Kedatangan Biksu So Jung itu adalah untuk memberitahu cara untuk menolak hukuman jika Wol Ryung gagal. Ia menyerahkan sebatang tongkat kayu kecil, “Ini adalah kayu yang berusia 100 tahun. Kau tinggal menjalani 11 hari lagi. Namun untuk berjaga-jaga, bawalah selalu tongkat ini sampai hari terakhir.”
Seo Hwa yang sibuk mengambil tananaman, tak menyadari kalau ada dua orang tentara yang melihat keberadaannya. O oh..
Dam Pyung Joon menemui Jo Gwan Woong dan menyatakan keinginannya untuk membubarkan pasukan pencarian. Rupanya Jo Gwan Woong mengira kalau gumiholah yang membawa mayat Yoon pergi dan bermaksud mencari gumiho itu agar bisa menemukan Seo Hwa.
Tapi Dam Pyung Joon yang sudah mengerahkan pasukan selama 3 bulan dan tak menemukan jejak gumiho atau mendengar berita tentang orang yang terluka karenanya, “Jadi lebih baik hentikan saja pencarian yang tak ada gunanya ini.”
Jo Gwan Woong marah mendengarnya. Ialah yang memutuskan apakah pencarian ini ada gunanya atau tidak. Tapi Dam Pyung Joon mengatakan kalau ia adalah pegawai kerajaan yang tak bertugas untuk melakukan kepentingan pribadi. Jadi ia meminta Jo Gwan Woong untuk mencari orang lain saja.
Belum sempat Dam Pyung Joon pergi, salah satu anak buah datang melaporkan kalau ada yang melihat keberadaan wanita yang mirip Seo Hwa di gunung. Dan Jo Gwan Woong memintanya untuk mencari wanita itu, “Jika ia bisa hidup selama 3 bulan di gunung, pasti ada seseorang yang menyembunyikannya. Entah itu penjahat ataupun gumiho, kau harus menangkapnya dulu.”
Wol Ryung kembali ke gua dan tak sengaja menjatuhkan tongkat yang diberikan So Jung padanya. Ia memandangi tongkat itu dengan skeptis, tapi ia tetap memasukkan tongkat itu ke dalam bajunya. Dan ia memanggil-manggil istrinya. Tapi tak ada sahutan.
Ternyata Seo Hwa masih asyik mengambil tanaman. Dan ia akhirnya merasakan ada orang yang mengikutinya. Ia pun melarikan diri.
Tentara yang mengikuti Seo Hwa pun segera mengambil panah dan memanahkan anak panah ke atas. Dan sekejap panah itu menyemburkan asap.
Dam Pyung Joon melihat asap itu.
Begitu pula Wol Ryung, “Seo Hwa..”
Ia berlari secepat-cepatnya dan akhirnya melompat terbang untuk segera tiba ke tempat Seo Hwa.
Seo Hwa pun berlari secepat-cepatnya. Di sebuah semak-semak, ia berhenti dan bersembunyi, sehingga tentara yang mengejarnya kehilangan jejak. Dan tentara itu pergi meninggalkannya. Seo Hwa pun berbalik untuk pergi ke arah yang berlawanan.
Tapi ternyata pasukan Dam Pyung Joon berada di sisi itu dan melihatnnya. Ia segera melarikan diri lagi, walaupun kali ini tak hanya satu orang yang mengejarnya tapi satu pasukan.
Para pengejar itu semakin mendekat, dan Seo Hwa kembali memohon dalam hati. Kali ini pada suaminya, “Tolong aku! Tolonglah aku, Wol Ryung!”
Dan sama seperti yang dulu, ia ditarik oleh seseorang. Suaminya. Seo Hwa berseru lega melihat suaminya.
“Ssst..!” Wol Ryung memintanya untuk diam. Ia merasakan para tentara itu semakin mendekat dan tak ada waktu bagi mereka untuk melarikan diri. Maka ia pun memeluk Seo Hwa erat.
Dan sekejap itu pula tanaman merambat imajiner menyelimuti mereka sehingga pasukan yang melewati mereka tak melihat keberadaan dua orang itu.
Seiring dengan tanaman merambat itu menghilang, Wol Ryung melepaskan pelukannya dan berkata menenangkan, “Sekarang semua sudah baik-baik saja. Mari kita pulang”
Tanpa suara, mereka pun beranjak meninggalkan tempat itu.
Untuk terpaku dan terkesiap kaget.
Dam Pyung Joon ada di hadapan mereka, duduk di atas kuda dengan tenang dan berkata,”Kau memiliki kekuatan yang sangat menarik. Mendadak kau dapat menutupi dirimu dengan tanaman-tanaman itu.”
“Siapa dirimu sebenarnya? Apakah kau manusia atau makhluk lainnya?”
Wol Ryung menggenggam tangan istrinya semakin erat, tak menjawab pertanyaan Dam Pyung Joon dan malah berkata, “Saya tak ingin berkelahi denganmu.”
“Apakah kau ingin mengatakan kalau kau melawan, maka kau percaya kalau kau akan menang?” tanya Dam Pyung Joon menyudutkan.
Wol Ryung mencoba berdalih kalau ia dan istrinya tak pernah melukai orang lain dan mengapa tentara melakukan hal seperti ini pada mereka. Dengan sopan Dam Pyung Joon mengatakan jika wanita yang bersama Wol Ryung bukanlah budak Negara yang sedang mereka cari, maka ia akan meminta maaf, “Jadi maukah kalian ikut bersamaku?”
Menghadapi Dam Pyung Joon yang sopan, Wol Ryung tak bisa menolak tapi juga tak mau menurut. Matanya terlihat panik dan mencari-cari jalan keluar, hingga matanya bertemu dengan mata kuda Dam Pyung Joon. Dan seperti menerima pesan Wol Ryung, kuda itu langsung meringkik dan mendompak, membuat Dam Pyung Joon harus menenangkan kuda itu.
Wol Ryung menggunakan kesempatan itu untuk lari. Namun Dam Pyung Joon yang kehilangan targetnya, langsung menembakkan anak panah ke udara, memberi isyarat pada pasukannya untuk bersiaga di tempatnya masing-masing.
Seo Hwa sudah tak kuat lari dan ingin menyerah.Ia minta maaf karena tak menuruti kata-kata Wol Ryung pagi tadi. Wol Ryung mencium kening Seol Hwa, berjanji untuk tetap melindunginya dan memintanya untuk bertahan.
Ternyata Wol Ryung dan Seo Hwa lari ke arah pasukan itu. Sudah ada beberapa orang yang menunggu di atas pohon, dan saat Wol Ryung dan Seo Hwa lewat, mereka menjerat Wol Ryung dengan rantai besi.
Dam Pyung Joon datang dan anak buahnya memastikan kalau wanita yang ada di depan mereka adalah budak Negara Yoon Seo Hwa. Maka Dam Pyung Joon pun menyuruh pasukannya untuk menangkap Seo Hwa.
Tapi menangkap Seo Hwa bukah hal yang mudah karena walau sudah terikat, Wol Ryung tetap melindungi istrinya, “Jangan sentuh dia! Dia adalah milikku.”
Salah satu tentara itu memukul perut Wol Ryung hingga Wol Ryung tersungkur, dan Seo Hwa pun langsung diseret menjauhi Wol Ryung.
Seo Hwa berteriak memanggil suaminya dan Wol Ryung yang dipukuli ramai-ramai hanya bisa menatap istrinya yang panik. Suara biksu So Jung yang menyebutkan pantangan untuk tak membunuh makhluk apapun terngiang di telinganya.
Suara Seo Hwa yang memanggil namanya juga terngiang di telinganya. Pantangan untuk tak menunjukkan wujud aslinya di depan manusia pun terngiang, seolah memperingatkannya.
Tapi peringatan itu tak dapat menghentikannya karena ia melihat Seo Hwa diseret semakin menjauh darinya. Kemarahan memenuhi matanya, kedua tangannya mengepal, dan seketika itu pula butiran cahaya biru muncul dari tanah di sekitar tubuh Wol Ryung.
Para pasukan itu terkesima melihat butiran cahaya itu, namun belum sempat mereka melakukan apapun, semua tentara yang mengerubuti Wol Ryung terpental ke udara, mengagetkan kelompok pasukan yang menyeret Seo Hwa.
Di tempat Wol Ryung terikat, mereka melihat semua tentara tersungkur di tanah kecuali satu tentara yang kini tergantung di udara karena lehernya tercekik.
Oleh wujud asli Wol Ryung. Walau mereka sudah menduga, tapi Dam Pyung Joon dan pasukannya terkejut melihat wujud asli Wol Ryung. Sedangkan Seo Hwa hanya bisa terpana saat melihat suaminya yang mencekik leher tentara itu lebih keras sehingga orang itu tewas seketika, “Wol Ryung..”
Para tentara itupun langsung maju untuk menyerang, tapi Wol Ryung yang sudah buas, melumpuhkan para tentara itu dengan tangan kosong yang sekarang sudah berubah menjadi cakar. Dalam hatinya, Wol Ryung berkata sesuai janjinya pada istrinya, “Jangan sentuh Seo Hwaku.”
Tapi Seo Hwa yang melihat kebuasan suaminya, hanya bisa terpaku ketakutan. Tanpa sadar air matanya mengalir, melihat bagaimana Wol Ryung menebas para tentara itu dengan tangannya dan bahkan menggigit leher salah satu tentara seperti binatang.
Dan Wol Ryung pun berteriak, mengaum memekakkan telinga, sehingga angin menerbangkan daun-daun sehingga menimbulkan pusaran angina yang hebat. Para tentara yang masih belum terkapar, satu per satu mulai tersungkur dengan menutup telinga karena tak tahan mendengar suara itu. Bahkan Dam Pyung Joon yang kemampuan bela dirinya paling tinggi pun akhirnya juga tersungkur, pingsan.
Sepertinya auman itu tak ditujukan pada Seo Hwa., karena sekarang hanya tinggal Wol Ryung dan Seo Hwa yang masih berdiri tegak. Wol Ryung berjalan menghampiri Seo Hwa. Namun Seo Hwa yang sudah ketakutan, meminta dalam hati, “Tidak, jangan mendekatiku…”
Suara hati Seo Hwa sepertinya terdengar oleh Wol Ryung karena ia menatap Seo Hwa putus asa dan tatapannya memohon. Tapi Seo Hwa yang baru saja melihat pemandangan yang mengerikan itu berteriak, “Tidakkk!!” dan ia pun jatuh pingsan. Wol Ryung kembali mengaum putus asa.
Wol Ryung membawa Seo Hwa ke dalam gua. Seo Hwa yang akhirnya sadar malah berteriak, meminta makhluk itu agar tak mendekatinya.
Masih dengan wujud aslinya, Wol Ryung berkata perlahan meminta agar Seo Hwa tak takut kepadanya karena ia adalah Wol Ryung. Seo Hwa bertanya tak percaya, “Apakah ini benar-benar dirimu?”
Wol Ryung mengangguk dan minta maaf karena menunjukkan wujud aslinya pada Seo Hwa. Dan karena kelelahan dan tubuhnya yang penuh luka, Wol Ryung pun terjatuh pingsan.
Seo Hwa menggeleng-gelengkan tak percaya. Ia pun keluar gua dan bergumam, “Tidak. Ia tak mungkin Wol Ryung.” Dan ia pun pergi meninggalkan tempat yang pernah menjadi rumahnya.
Kembali butiran cahaya biru muncul dan secara ajaib menyembuhkan luka-luka yang diderita Wol Ryung yang tak sadarkan diri.
Sementara di tenda pasukan, Dam Pyung Joon iba melihat seluruh anggota pasukannya terluka parah. Anak buahnya melaporkan kalau pesan Dam Pyung Joon sudah disampaikan kepada Jo Gwan Woong yang akan segera datang kemari.
Mendadak, mereka dikejutkan oleh kedatangan Seo Hwa yang tak terduga menyerahkan diri.
Biksu So Jung yang sebelumnya merasakan kekhawatiran akan temannya, menemukan Wol Ryung tergeletak pingsan. Ia pun segera merawat Wol Ryung. Tapi Wol Ryung yang kemudian sadar, meminta temannya untuk menemukan Seo Hwa karena Seo Hwa sekarang takut padanya.
Betapa kesal dan putus asanya Biksu So Jung melihat Wol Ryung masih mengkhawatirkan Seo Hwa yang menyebabkan semua ini. Tapi Wol Ryung tetap memohon, sehingga temannya itu menyanggupi. Sebelum pergi ia mengingatkan Wol Ryung tentang pisau kayu dan di saat terakhir, Wol Ryung harus melakukan apa yang dulu pernah ia katakana.
Seo Hwa berhadapan dengan pembunuh ayahnya. Jo Gwan Woong menampar Seo Hwa, menyalahkan Seo Hwa yang telah mengorbankan nyawa pembantu dan adiknya untuk hidup dengan makhluk gaib.
Tentu saja Seo Hwa shock mendengar ucapan Jo Gwan Woong yang berbeda dengan ucapan Wol Ryung sebelumnya. Apalagi Jo Gwan Woong menjelaskan secara rinci bagaimana Dam mati gantung diri setelah meloloskan Seo Hwa, sedangkan Yoon mati digantung olehnya setelah ditemukan oleh para pemburu budak.
Jo Gwan Woong menyalahkan Seo Hwa. Kalau saja Seo Hwa mau tidur dengannya, maka nyawa Yoon akan selamat. Seo Hwa semakin shock mendengarnya. Tiba-tiba ia merasa mual, dan lari menjauh untuk muntah.
Jo Gwan Woong menyuruh Dam Pyung Joon untuk memaksa Seo Hwa menunjukkan arah ke sarang Gumiho dan memotong leher Gumiho itu, sekaligus leher Seo Hwa.
Dam Pyung Joon hanya diam, dan memandangi Seo Hwa yang menangis mengingat kedua orang terdekatnya.
Wol Ryung terbangun dan betapa terkejutnya ia saat keluar, ia melihat Dam Pyung Joon dan pasukannya telah bersiaga menunggu dirinya. Ia heran bagaimana Dam Pyung Joon bisa menemukan tempat tinggalnya karena tepat tinggalnya ini tak bisa dijamah oleh manusia.
Dan muncullah Seo Hwa dari balik punggung Dam Pyung Joon, memandang tajam kepadanya.
Wol Ryung tak menyangka Seo Hwa mengkhianatinya. Tapi Seo Hwa berkata dingin, “Dan bagaimana dengan kau yang membohongiku? Dam telah mati, Yoon juga telah mati. Kenapa kau mengatakan kalau mereka baik-baik saja?”
Wol Ryung menjawab kalau ia tak tahan melihat Seo Hwa tenggelam dalam kesedihan. Tapi Jo Gwan Woong muncul dan mengatakan motif Wol Ryung sebenarnya, “Sebagai seorang Gumiho, kau ingin merebut hatinya dengan membohonginya, menculiknya dan membuatnya bingung. Bukannya seperti itu?”
Tentu saja Wol Ryung membantah tuduhan itu. Tapi Seo Hwa bertanya bagaimana dengan Wol Ryung yang tak pernah memberitahukan kalau Wol Ryung adalah makhluk gaib? “Kenapa kau berpura-pura menjadi manusia?! Kukira kau adalah manusia biasa, dan semua yang kau katakan, yang kau tunjukkan padaku semuanya nyata.”
Wol Ryung menatap istrinya dengan putus asa. Tanpa sadar ia meneteskan air mata mengingat kata-kata Biksu So Jung saat menyerahkan pisau kayu itu.
Jika wanita yang kau cintai itu tetap mencintaimu setelah mengetahui siapa dirimu sebenarnya, maka kau akan selamat. Namun, jika ia mengkhianatimu, maka bunuhlah ia dengan pisau in, maka kau masih tetap akan menjadi penjaga gunung ini dan bukannya iblis seribu tahun. Jadi jika situasi terburuk itu terjadi, gunakan pisau ini apapun yang terjadi.
Wol Ryung mengeluarkan pisau kayu itu, dan berteriak putus asa memanggil nama Seo Hwa. Jo Gwan Woong memerintahkan pasukan untuk memanahnya. Tapi dengan mudah Wol Ryung menangkisnya dengan pisau kayu itu.
Dan ia lari merangsek maju yang dicoba ditahan oleh pasukan yang menghalanginya. Tapi Wol Ryung dengan mudah meloloskan diri dengan terbang tinggi melompatinya dan sekejap ia sudah ada di hadapan istrinya. Tanpa ada pisau di tangannya
Wol Ryung meraih pundak istrinya. Namun belum sempat ia berkata atau melakukan apapun, Dam Pyung Joon sudah menghunuskan pedang ke perutnya. Wol Ryung mengernyit kesakitan apalagi saat Dam Pyung Joon menghunus pedang semakin dalam.
Tapi pandangan Wol Ryung hanya tetap pada Seo Hwa dan ia berkata perlahan, “Mengapa kau melakukannya? Aku mencintaimu. Sangat mencintaimu. Mengapa…?”
Seo Hwa terpana mendengar kata-kata Wol Ryung yang hanya berupa bisikan. Begitu pula Dam Pyung Joon yang mendengar pengakuan tulus Wol Ryung. Namun Jo Gwan Woong berteriak padanya, menyuruhnya untuk segera menghabisi makhluk itu.
Dan ketika wujud asli Wol Ryung muncul, cakarnya mencengkeram bahu Seo Hwa sehingga Seo Hwa berteriak kesakitan. Saat itu pulalah Dam Pyung Joon mendorong Wol Ryung menjauh dari Seo Hwa dan menebas Wol Ryung.
Tubuh Wol Ryung tak terjatuh, tapi malah terangkat tinggi dan butiran cahaya biru itu kembali muncul, kali ini sangat banyak karena tubuhnya perlahan-lahan berubah menjadi butiran cahaya itu.
Seo Hwa terduduk lemas. Jo Gwan Woong memuji Dam Pyung Joon dan memintanya untuk menyelesaikan tugas akhirnya di sini. Dam Pyung Joon menatap Jo Gwan Woong tak percaya. Tapi Jo Gwan Woong tak peduli dan ia pun pergi meninggalkan mereka.
Ia berteriak marah menyalahkan Dam Pyung Joon yang telah membinasakan Wol Ryung, penjaga suci gunung ini. Wol Ryung tak pernah melukai siapapun. Dam Pyung Joon membantah hal itu karena separuh pasukannya terbunuh oleh Wol Ryung. Namun Biksu So Jung menyela, “Apakah ia yang memulai serangan? Apakah ia duluan menyerang?”
“Yang ingin ia lakuan hanyalah menjadi manusia biasa dan menjadi tua bersamanya,” kata Biksu So Jung dan ia menatap Seo Hwa, “Semua ini karena cintanya padamu! Apa kau tahu?”
Hmm.. Apakah kejadian ini semua terjadi karena ia jatuh cinta pada Seo Hwa?
Ditinggal sendirian, Seo Hwa merasakan kontraksi di perutnya. Dan ia pun mengambil keputusan.
Biksu So Jung yang kembali melihat butiran cahaya yang sangat ia kenal dan bertanya-tanya sendiri, “Wol Ryung..?”
Seo Hwa menangis. Menangisi bayinya. Menyesali semuanya yang sekarang sudah terlambat.
Tiba-tiba muncul seorang biksu yang memberitahukan betapa beruntungnya Park Mu Sol mendapatkan bayi keberuntungan. Biksu itu memperkenalkan namanya sebagai So Jung.
Chun Ho berdalih kalau ia belum menikah, tapi Biksu So Jung berkata, “Choi Kang Chi, nama yang sangat bagus. Bagaimana menurutmu, Tuan Park?”
(Bersambung)
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !