Genre : Drama, Fantasi
Episode : 24 (dalam konfirmasi)
Network : MBC
Tanggal tayang : 8 April - 25 Juni 2013
CAST & CREW
Sutradara : Shin Woo Chul
Skenario : Kang Eun Kyung
Skenario : Kang Eun Kyung
Pemain:
Choi Jin Hyuk sebagaiGu Wol Ryung (ayah Kang Chi)
Lee Sung Jae sebagai Jo Gwan Woong
Lee Seung Gi sebagai Choi Kang Chi
Bae Suzy sebagai Wol Yeo Dam
Yoo Yun Suk sebagai Park Tae Seo
Lee Yoo Bi sebagai Park Chung Jo (cinta pertama Kang Chi)
Lee Yeon Hee sebagai Yoon Seo Hwa (ibu Kang Chi)
Jung Hye Young sebagai Chun Soo Ryun (kepala gisaeng)
Uhm Hyo Sup sebagai Park Moo Sol (Ayah angkat Kang Chi)
SINOPSIS BAGIAN 1
Berawal dari sebuah hutan digunung Jiri yang dihuni oleh siluman rubah putih atau yang dikenal di Korea adalah Gumiho cuma yang 1 ini bersosok lelaki yang biasanya dicerita drama korea lain bersosok wanita. Gumiho ini bernama Gu Wol Ryung (Choi Jin Hyuk).
Pada suatu hari Gu Wol Ryung mendengar suara keramaian di desa, ia penasaran dan ingin melihatnya, melesatlah Gu Wol Ryung untuk melihat keramaian tsb. Disela-sela keramaian itu Gu Wol Ryung diatas pohon melihat segerombolan prajurit membawa tahanan yang berisi 2 perempuan dan 1 lelaki.
Tahanan itu bernama Yoon Seo Hwa (Lee Yeon Hee), yang dijual oleh kerajaan untuk dijadikan gisaeng (pelacur) karena keluarganya Menteri Yoon difitnah menjadi pemberontak kerajaan oleh Jo Gwan Woon (Lee Sung Jae). Di rumah Gisaeng yang bernama ChoonHwagwan, Yoon Seo Hwa melawan tidak mau menjadi Gisaeng biarpun dipaksa apapun sehingga ia ditelanjangi oleh pegawai Gisaeng dan diikat dipohon. Wal Ryung Terkesima melihat kejadian itu tapi ia berpikir kembali untuk tidak menolongnya karena ia berjanji kepada temannya So Jung untuk tidak berhubungan dengan manusia.
Kembali kecerita sebelumnya, apa penyebab Yeon Hwa dijual dijadikan gisaeng.
Wakil Menteri Yoon terpana.
“Gwang Woon, mengapa kau menuduhku dengan tuduhan palsu seperti ini setelah persahabatan kita selama bertahun-tahun?” sesal ayah Seo Hwa.
Jo Gwang Woon tertawa sinis.
“Kau menyebutku teman tapi kau selalu menganggapku rendah karena asal-usulku. Itu sebabnya aku datang untuk memberikan pelajaran padamu. Kau tidak boleh memperlakukanku seperti itu.”
Ayah Seo Hwa menghela nafas panjang. Seo Hwa berteriak-teriak memanggil ayahnya tapi ia dipegangi oleh dua orang pengawal agar tidak mendekat. Jo Gwan Woong menoleh melihat Seo Hwa dengan licik. Ia lalu menghampiri ayah Seo Hwa dan berbisik.
“Jangan terlalu sedih. Aku akan membuat puteri kesayanganmu menjadi gisaeng negara dan memperlakukannya dengan baik. Aku bertanya-tanya apa rasanya tidur dengan wanita bangsawan dari keluarga terhormat?” Jo Gwan Woong tertawa.
Ayah Seo Hwa marah mendengar perkataan menghina seperti itu. Ia berteriak lalu menarik pedang dari seorang pengawal.
“AYAAAAAH!!!” teriak Seo Hwa.
Teriakannya terhenti saat darah memuncrat ke wajah dan pakaiannya. Ayahnya telah ditebas oleh Jo Gwan Woong. Seo Hwa shock melihat kematian ayahnya.
Jo Gwan Woong menoleh pada Seo Hwa sambil tersenyum menang. Air mata mengalir di pipi Seo Hwa. Ia berteriak histeris.
Benar-benar pria mengerikan. Jo Gwan Woon saat ini berada di dalam Chunhwagwan bersenang-senang dengan para gisaeng. Gisaeng Chun masuk menemuinya. Kelihatannya ia tidak menyukai Jo Gwan Woong tapi dengan sopan ia memberi hormat.
“Selamat, Tuan. Saya dengar Tuan dipromosikan menjadi pejabat senior ranking 5.”
“Cepat sekali. Begitu cepatnya rumor beredar,” ujar Gwan Woong senang. Tapi Gisaeng Chun tidak tersenyum sama sekali.
Gwan Woong berkata ia mendapat kenaikan pangkat setelah menangkap pengkhianat.
“Maksud Tuan, Wakil Menteri Yoon? Saya rasa Tuan pernah membawanya ke sini beberapa kali sebagai teman,” kata Gisaeng Chun.
“Kami pernah berteman. Walau aku berasal dari keluarga miskin, aku tetaplah pejabat negara. Aku tidak mungkin memihak pengkhianat walau dia temanku. Apa kau mengerti?”
“Tentu saja saya mengerti,” tatapan tajam Giseang Chun tidak pernah beralih dari Gwan Woong.
Gwan Woon berkata memikirkan Wakil Menteri Yoon tetap saja membuatnya sangat sedih. Karena itu ia datang menemui Gisaeng Chun. Ia telah membuat janji dengan Wakil Menteri Yoon sebelum beliau meninggal.
“Puteri Yoon Gi Soo, saat ia menjadi gisaeng negara, aku berjanji padanya menjadi pria yang menidurinya untuk pertama kali.”
Tentu saja Gisaeng Chun tahu Gwang Woon berbohong tapi ia tidak berani menentang.
“Karena itu aku ingin mengadakan ritual pertamanya sebagai gisaeng. Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mempersiapkannya?”
“Ia harus dilatih sebagai gisaeng dan didaftarkan. Sedikitnya membutuhkan waktu 2-3 bulan.”
Gwan Woong merasa itu terlalu lama. Ia memberi waktu 5 hari.
“Aku beri waktu 5 hari untuk mempersiapkannya.”
“Tapi Tuan….”
“Kubilang 5 hari! Mengerti?” Gwan Woon menatap Gisaeng Chun dengan tegas. Jelas ia tak mau dibantah.
Keesokan paginya Seo Hwa terbangun dan mendapati dirinya menjadi tontonan penduduk. Mereka menertawakannya dan menghinanya. Bahkan anak-anak kecil melemparinya dengan batu hingga kepalanya terluka.
Seo Hwa teringat perkataan kepala pelayan semalam mengenai pohon aib.
“Aku tidak akan menyerah karena ini. Tidak akan. Aku tidak akan menjadi gisaeng. Tidak akan!” ujarnya pada diri sendiri.
Tak jauh dari sana, Wol Ryung masih mengamatinya dari atas pohon. Hari-hari berlalu, Seo Hwa semakin lemah dan pucat. Sementara itu Wol Ryung masih bimbang apakah ia harus menolong Seo Hwa.
Tiga hari berlalu dan Seo Hwa tetap belum menyerah. Tiga hari tanpa makan dan minum. Kepala pelayan bertanya apa yang akan Gisaeng Chun lakukan. Waktu yang diberikan Gwan Woon tinggal 3 hari lagi. Mendengar itu Gisaeng Chun yang awalnya bersikap tenang mau tak mau mulai berpikir.
Seo Hwa akhirnya jatuh pingsan. Tak tahan lagi, Wol Ryung turun dari pohon dan hendak menolong. Tapi seseorang menahannya. Biksu So Jung.
“Jika aku tahu kau ada di sini, aku tidak akan menjelajahi seluruh hutan,” gerutunya. “Hentikan, biarkan manusia yang menyelesaikannya (masalah Seo Hwa).”
“Tapi ini terlalu kejam, dan dia masih sangat muda. Dia diikat seperti itu sudah tiga hari.”
“Ya, dia masih muda. Dan benar, ini kejam. Tapi ini takdirnya. Kau seharusnya tidak ikut campur.”
Wol Ryung menoleh melihat Seo Hwa yang masih pingsan. Ia lalu melayang menuju Seo Hwa. So Jung melemparkan untaian tasbihnya ke arah Wol Ryung. Untaian tasbih itu melingkari pergelangan tangan Wol Ryung. Wol Ryung kehilangan kekuatannya dan terjatuh ke tanah.
“Apa kau sudah lupa janji yang kau buat denganku?” tanya So Jung.
Wol Ryung tidak peduli. Ia sudah memutuskan ingin menolong Seo Hwa. So Jung menghalanginya dengan tongkat. Wol Ryung menepisnya berkali-kali. So Jung terpaksa melawannya.
Keduanya bertahan tidak mau mengalah. Wol Ryung berkata ia hanya ingin membantu anak malang yang tidak berdaya.
“Kau berjanji padaku kau tidak akan ikut campur urusan manusia!”
“Satu kali saja! Apa salahnya satu kali saja!”
“Pengecualian yang pertama adalah kesalahan yang paling utama. Sekalinya kau melakukan pengecualian, yang kedua dan ketiga menjadi lebih mudah, “So Jung terus bertahan.
Wol Ryung berteriak kesal sambil mencampakkan tongkat So Jung ke tanah.
“Berhentilah mengacaukan takdir manusia. Ingatlah bahwa kau sangat berbeda dengan manusia,” ujar So Jung.
Ia berjalan kembali menuju hutan. Tiba-tiba mata Wol Ryung menyala. Ia memungut tongkat So Jung lalu melemparnya kuat-kuat ke arah So Jung.
So Jung yang sedang memungut topinya untunglah cepat mengelak. Tongkat itu menancap di pohon. So Jung terkejut dan menatap Wol Ryung tak percaya, apakah Wol Ryung hendak membunuhnya?
Mata Wol Ryung kembali seperti semula. Ia terlihat lega. So Jung menoleh ke arah tatapan Wol Ryung. Di pohon menancap sebuah ular besar. Wol Ryung mendekati pohon dan mengulurkan tangannya ke arah ular itu. Ular itu perlan-pelan terurai menjadi serpihan-serpihan dan hilang terbawa angin.
Wol Ryung melirik temannya yang masih bengong.
“Bukankah aku baru saja mengacaukan takdirmu? Apakah aku sudah melewati batas yang seharusnya tidak kulewati?” tanyanya. Apakah tadi seharusnya ia tidak menolong So Jung jika itu yang dimaksud mengacaukan takdir?
Wol Ryung sekali lagi menegaskan ia hanya ingin membantu anak malang yang tidak berdaya. So Jung tidak bisa berkata apa-apa lagi. Wol Ryung berjalan menuju tempat Seo Hwa diikat. Tapi Seo Hwa sudah tidak ada. Hanya tersisa tali yang pernah mengikatnya. Wol Ryung menghela nafas panjang dan terlihat kecewa.
Seo Hwa membuka matanya. Dam yang khawatir menangis senang melihat nonanya sudah sadar. Tadinya ia kira nonanya akan mati karena demam semalaman. Seo Hwa melihat sekelilingnya. Ia berada dalam sebuah kamar.
“Di mana aku?”
“Apa maksud Nona? Tentu saja di Chunhwagwan. Kepala gisaeng berubah pikiran dan memerintahkan agar Nona dibawa masuk.”
Mendengar itu Seo Hwa segera bangkit. Ia menyuruh Dam minggir.
“Sudah kubilang walau aku mati, aku tidak akan masuk ke tempat ini. Cepat menyingkir, aku tidak akan pernah tinggal di tempat seperti ini.”
“Apa yang akan kaulakukan jika kau tidak tinggal di sini,” seru Gisaeng Chun yang sejak tadi mendengar di ambang pintu. “Sekalinya seorang gadis dijual menjadi gisaeng negara, ia tidak memiliki pilihan selain hidup sebagai gisaeng. Ia harus menjual minuman, tawanya, bahkan tubuhnya.”
“Aku lebih baik diikat di pohon aib. Lebih baik aku di sana dan mati,” kata Seo Hwa tegas. Ia bangkit berdiri dibantu oleh Dam karena tubuhnya masih sangat lemah.
Gisaeng Chun memberi isyarat pada kepala pelayan. Kepala pelayan membuka jendela. Seo Hwa terkejut melihat adiknya diikat dan dikelilingi beberapa pengawal.
Yoon malah senang melihat kakaknya tidak apa-apa. Gisaeng Chun bertanya lagi apakah Seo Hwa masih menolak menjadi gisaeng.
“Pikirkan baik-baik. Jawabanmu akan menentukan apakah adikmu akan hidup atau mati.”
“Kakak, jangan khawatirkan aku. Aku tidak peduli pada apa yang akan terjadi padaku. Jangan menjadi gisaeng!” seru Yoon.
Seo Hwa menatap Gisaeng Chun dengan penuh kebencian. Gisaeng Chun bertanya apa yang akan Seo Hwa lakukan.
“Kakak…!”
“Apa yang akan kaulakukan!”
Seo Hwa tidak menjawab. Gisaeng memerintahkan pukulan dilaksanakan. Tubuh Yoon ditelungkupkan di atas bangku kayu lalu di tutupi dengan tikar. Kemudai empat orang bergantian memukuli Yoon dengan tongkat.
Seo Hwa melihat adiknya dengan hati hancur. Yoon berusaha sekuat tenaga menahan rasa sakit walau darah mulai keluar dari mulutnya. Ia sama sekali tidak berteriak karena tidak mau Seo Hwa menyerah demi dirinya.
Melihat pukulan bertubi-tubi yang dialami adiknya dan tampaknya Yoon tak tahan lagi., Seo Hwa berteriak.
“Hentikan! Hentikan!”
Gisaeng Chun mengangkat tangannya menyuruh mereka berhenti.
“Lepaskan adikku. Aku…akan melakukan apapun yang kauinginkan. Lepaskan adikku.”
“Kakak!!” teriak Yoon.
Gisaeng Chun menyuruh kepala pelayan mendandani Seo Hwa. Yoon terus berteriak memanggil kakaknya sambil menangis.
Maka Seo Hwa mulai dipersiapkan untuk menjadi gisaeng. Ia dimandikan. Pundaknya ditato sebagai tanda ia adalah gisaeng negara. Seo Hwa menjalani semuanya seakan-akan ia sudah mati dan tak merasakan apapun lagi.
Yoon telah dilepaskan dan bekerja sebagai pelayan di Chunhwagwan membantu Jang So. Jang So melihat Seo Hwa yang telah didandani melintas di depan mereka dan terkagum-kagum dengan kecantikannya yang seperti peri.
Yoon melihat kakaknya dengan sedih.
“Sayang sekali, mengapa harus Pejabat Jo,” keluh Jang So.
“Apa maksudmu? Pejabat Jo?”
“Maksudku Jo Gwan Woong. Ia akan tidur dengan kakakmu malam ini,” kata Jang So. Hmm...berarti banyak yang tidak menyukai Jo Gwan Woong. Ya iyalah…..
Yoon memberitahu Dam mengenai hal ini. Dam terkejut, pria yang menghancurkan keluarga Tuannya akan meniduri Nonanya malam ini? Yoon membenarkan. Gwan Woong tidak puas hanya dengan menghancurkan kelurga mereka dan sekarang hendak menodai kakaknya.
“Jadi, bisakah kau membantu kami, Dam?”
“Saya? Bagaimana caranya?”
Yoon membisikkan sesuatu. Dam terkejut. Jika ketahuan mereka akan berada dalam masalah besar.
“Aku tahu kau yang akan bertanggungjawab sendirian. Aku sendiri sangat terluka memintamu melakukannya. Tapi tidak ada lagi yang bisa melakukannya kecuali kau. Bagaimanapun juga kita harus menghentikan Jo Gwan Woong menodai kakakku.”
Yoon menggenggam tangan Dam dan memohonnya untuk menolong kakaknya.
Seo Hwa sedang didandani oleh kepala pelayan dan beberapa gisaeng. Mereka memuji kecantikan Seo Hwa.
“Apa gunanya cantik jika hanya menjadi seorang gisaeng rendahan?” kata seorang dari mereka. “Ia harus menuangkan minuman jika disuruh. Ia juga harus menyerahkan tubuhnya jika diminta.”
Mereka bertanya-tanya mengapa Seo Hwa melakukan ritual pertama padahal belum terdaftar secara resmi. Seorang dari mereka berkata itu semua karena Jo Gwan Woong. Jika Jo Gwan Woon tidak senang, ia bisa membunuh siapa saja. Bahkan Gisaeng Chun pun selalu berhati-hati jika berhadapan dengannya.
Mendengar nama pembunuh ayahnya, Seo Hwa tertegun. Kepala pelayan khwatir melihat reaksi Seo Hwa. Ia menyuruh para gisaeng itu keluar.
“Apa maksudnya itu? Jo Gwan Woong?” tanya Seo Hwa pada kepala pelayan. “Jangan-jangan….aku akan tidur dengannya?”
Kepala pelayan sebenarnya merasa iba pada Seo Hwa tapi ia berkata tidak ada yang bisa Seo Hwa lakukan. Ini semua karena Seo Hwa lahir dengan takdir buruk.
Masih tergambar di benak Seo Hwa bagaimana ayahnya tewas di tangan Jo Gwan Woong. Ia mengambil sebuah tusuk konde yang panjang. Dengan penuh tekad ia mengangkat tusuk konde yang tajam itu.
Bersambung
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !