Director: Frankie Chan
Producer : Jackie Chan
Starring : Cecilia Cheung,Richie Ren,Zheng Peipei,Liu Xiaoqing,Zhou Haimei
Alur Cerita/Sinopsis/Preview
Ditengah maraknya film-film epik Mandarin yang banyak beredar saat ini, menyelip Legendary Amazons (楊門女將之軍令如山 / Yang Men Nu Jiang Zhi Jun Ling Ru Shan) diantaranya. Menarik, karena terdapat nama Jackie Chan dibelakangnya yang menjabat sebagai salah seorang produser dan diarahkan oleh sutradara /penata musik/aktor veteran seperti Frankie Chan dan menampilkan bintang-bintang pendukung yang tak kalah seniornya; sebut saja Cheng Peipei, sang mantan ratu silat era Shaw Brothers atau Cecilia Cheung yang muncul kembali setelah cukup lama absen dan kembalinya aktris TVB populer Kathy Chow Ha-mei dan aktris laga kampiun era 80-90an, Oshima Yukari. Jangan lupakan pula biduan/aktor populer Taiwan, Richie Ren, yang memegang salah satu peran penting di dalamnya.
Diatas kertas, Legendary Amazons memiliki materi yang meyakinkan. Meski mengingatkan akan film The 14th Amazons yang merupakan produksi Shaw Brothers di tahun 1972, namun sebenarnya film berkisah atas salah satu epos negeri Tiongkok yang terkenal, yaitu kisah keluarga Yang, para pejuang pembela kerajaan Song dari ancaman musuh asing yang mencoba menginvasi. Tentu saja film ini bukan merupakan satu-satunya hasil adaptasi dari kisah klasik tersebut (sebutlah film-film SB seperti The 14th Amazons dan Invicible Pole Fighter atau serial-serial kolosal TVB, Young’s Female Warrior dan The Yang’s Saga), juga bukan yang pertama mengambil pendekatan yang berbeda dari materi aslinya. Menjadi menarik saat sudut pandang bercerita justru diambil dalam perspektif para perempuan dari keluarga Yang.
Keluarga bangsawan ini memang memiliki reputasi sebagai para tentara tangguh, tidak hanya kaum lelakinya, namun juga para perempuannya. Mereka memiliki ketrampilan yang sangat tinggi dalam berlaga di medan perang dan juga sangat cemerlang dalam menyusun strategi. Saat Yang Zongbao, yang merupakan salah seorang pria anggota keluarga tersebut yang tersisa dikabarkan tewas, maka mau tidak mau, putranya yang masih berusia remaja harus menggantikan dirinya di medan perang. Sang istri, Mu Guiying (Cecilia Cheung), tentu saja tidak rela jika anak mereka harus mati sia-sia dengan begitu saja, mengingat pengalaman tempurnya yang minim. Maka, bersama sejumlah perempuan yang tersisa di keluarga Yang, mereka maju merengsek musuh dan membela kehormatan keluarga mereka.
Dengan semangat emansipasi yang besar, Legendary Amazons menampilkan para perempuan ini secara gagah perkasa, ulet, tangkas namun juga tak kehilangan feminitas mereka. Selain memiliki kemampuan menyusun strategi yang cemerlang, mereka perempuan-perempuan tangguh yang tak takut akan maut dan bertempur dengan sangat gagahnya seperti kaum pria, namun juga tak canggung untuk meluapkan emosi mereka. Tentu saja, di dalam perang, maut juga tidak memandang jenis kelamin, sehingga kematian menggenaskan pun harus disambut dengan tanpa pamrih jika memang menjelang.
Sentra film sebenarnya terdapat pada sosok Mu Guiying. Sosok yang awalnya merupakan pihak luar di keluarga Yang, namun kemudian menggambil tampuk pimpinan demi menjaga reputasi keluarga tersebut. Semua dilakukan karena kecintaanya terhadap sang suami, yang sudah tidak ditemuinya selama delapas belas tahun, karena bertugas di perbatasan. Guiying digambarkan sebagai karakter yang tegas, ulet dan berkepala dingin. Ia bahkan tak segan-segan bersikap keras terhadap putra satu-satunya yang juga keturunan terakhir keluarga Yang demi kepentingan perang. Namun, di sisi lain ia diperlihatkan sebagai sosok rapuh yang memendam rindu tak berkesudahan dengan suami dan lemah lembut kepada sesama.
Sayangnya, Legendary Amazons tak semegah yang didengungkan. Meski para perempuan keluarga Yang ditampilkan dengan keunikannya masing-masing, namun plot berjalan dengan cukup konyol. Entah disengaja atau tidak, selalu ada hal-hal yang membuat situasi malah cenderung jatuh dalam suasana yang karikatural. Kita tidak bisa merasakan determinasi yang kuat, saat film lebih memilih untuk mengglorikasi para perempuan Yang dalam cara berlebihan. Nama-nama kurang populer yang mengisi peran mereka memang dapat bertanggung jawab secara penuh dalam adegan laga, namun tidak begitu saat harus menghadirkan emosi dalam karakternya.Bahkan Cecilia Chung dan Richie Ren, yang reuni setelah Fly Me To Polaris, (1999) pun tak berhasil memberi akting yang meyakinkan, konon lagi munculnya reaksi kimia antara karakter mereka seperti yang diharapkan. Seolah-olah mereka kerja rodi dengan memberikan akting pas-pasan demi selembar cek gaji.
Treatment yang dihadirkan oleh Frankie Chan pun lebih mirip untuk serial televisi panjang, ketimbang sebuah film fitur yang solid. Editing yang cukup buruk membuat alur mundur-maju, sebagai preposisi kisah, malah membuat filmnya terkesan melompat-lompat. Penonton yang kurang awas bisa jadi akan merasa bingung. dalam mengikuti narasinya Ujung-ujungnya, film seolah-olah menjadi sebuah ringkasan yang kurang komprehensif. Sebenarnya ada beberapa hal yang dapat menjadi menarik, asal saja Chan tidak terlalu fokus pada upaya menjadikan Legendary Amazons sebagai sebuah popcorn flick belaka. Film ini memiliki dinamika kisah yang kaya, mulai dari patriotisme, kemandirian secara sosial sampai ide lesbianisme yang telah ditampilkan secara implisit. Sayangnya, tidak satupun ditampilkan dengan utuh, selain sebagai atribut untuk mempertebal kisah tipisnya.
Pada dasarnya, Legendary Amazons adalah sebuah film yang terlena dalam menjaga kualitas saat mengejar esensi hiburannya. Setiap rangka dalam struktur bangun tubuhnya dirangka untuk memuaskan selera komersil. Namun, terlepas dari itu, kalau kita mau melepas ekspektasi dan juga membebaskan otak dalam menyimaknya, Legendary Amazons ternyata cukup menyenangkan untuk disaksikan. Segala kekurangannya ternyata dapat pula menjadi sebuah bentuk tontonan, yang meski banal, namun ternyata mampu menghibur.
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !